Masa Bersiap Terhadap Orang Belanda Masa Penjajahan

Masa Bersiap Terhadap Orang Belanda Masa Penjajahan

Masa Bersiap Terhadap Orang Belanda Masa Penjajahan – Masa Bersiap adalah istilah yang disematkan Belanda untuk menyebut periode kekerasan terhadap slot demo mahjong ways orang-orang Eropa di Indonesia selama revolusi kemerdekaan pada 1945-1946. Belanda menggambarkan Periode Bersiap sebagai sebuah masa yang sangat mengerikan dan mencekam. Disebutkan bahwa sekitar 3.500 hingga 20.000 orang terbunuh dalam kerusuhan, kekacauan, serta penjarahan yang terjadi selama Masa Bersiap. Periode ini ditandai dengan terjadinya huru-hara, pembantaian, dan perampokan massal yang dilakukan oleh masyarakat pro-kemerdekaan, atau yang biasa disebut sebagai Pemoeda dan Pelopor. Orang-orang Eropa dan orang Indo menjadi target utama dalam kekacauan ini, walaupun banyak juga korban yang merupakan orang Maluku dan orang Tionghoa. Oleh sebab itu, jarang sekali ditemukan orang keturunan Belanda atau Eropa yang tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan karena banyak yang menjadi korban dalam Masa Bersiap atau melarikan diri ke Eropa. Sebagai akibat dari perang saudara di Tiongkok Daratan, sebagian orang Tionghoa kaum kanan waktu itu banyak yang mendukung partai Kuomintang yang juga pro-Belanda, secara otomatis tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga mereka juga ikut menjadi korban dari masa tersebut. Awal masa ini bermula dengan dijarah dan dirampoknya Depok oleh para Pemoeda atau Pelopor pada tanggal 9 Oktober 1945. Depok waktu itu dikenal sebagai pusat tempat tinggalnya orang Indo. Sedangkan masa akhir Bersiap ditetapkan selesai dengan munculnya aksi Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisi Belanda I pada bulan Januari 1947. Namun pemerintah Belanda mendefinisikan masa ini lebih luas, yaitu dari Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Sejarah dari Masa Bersiap

Sebagaimana yang tercantum di laman Slavery and Remembrance, antara tahun 1596-1829, Belanda terlibat aktif dalam perdagangan budak trans-Atlantik, mengangkut setengah juta orang Afrika ke berbagai destinasi. Sebagian besar di antaranya dibawa ke pulau-pulau Karibia, Curaçao, dan St. Eustatius, yang berfungsi sebagai stasiun untuk penjualan ulang dan pengiriman ke koloni budak Amerika lainnya, termasuk ke koloni Spanyol. Selain itu, Belanda pun mengirimkan jumlah yang sama ke pemukimannya di Guyana Belanda (sekarang: Suriname) untuk bekerja di perkebunan gula. Pada abad ke-18, hampir 10 persen budak di Suriname melarikan diri dari kondisi yang brutal dan membentuk atau bergabung dengan komunitas merah marun, dengan tujuan hidup bebas dari kendali sistem perbudakan.

Bersiap dimulai segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan sebelum kedatangan angkatan slot777 bersenjata pertama Inggris dan Belanda. Rumah-rumah dan toko-toko orang Tionghoa dijarah dan keluarga mereka dibunuh. Milisi dibentuk di seluruh pulau Indonesia, di Sulawesi Utara, pemuda membentuk milisi BPMI. Pada bulan Oktober, para pemimpin Republik mencoba mengorganisasi milisi-milisi ini menjadi paramiliter formal yang disebut TKR, namun, upaya ini diperlambat oleh sekutu. Pada tanggal 18 September 1945 sekelompok mantan tawanan yang dipimpin oleh Tn. W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato tempat mereka menginap. Tindakan ini membuat marah pemuda Surabaya yang tidak bersenjata. Beberapa orang tewas.

Pada tanggal 23 September 1945, Kapten Belanda P.J.G. Huijer yang masuk ke Surabaya dengan izin dari Laksamana Helfrich (Panglima pasukan Belanda di Hindia Belanda), dan Jenderal Van Oyen (Panglima KNIL), mengklaim bahwa mereka diperintahkan oleh Mountbatten untuk meminta Jenderal Nagano (Divisi IJA ke-16) menyerah. Mereka sebenarnya tidak memiliki izin dari Inggris. Pasukan Jepang berparade di lapangan udara dan meletakkan senjata mereka, termasuk tank, senjata anti-pesawat, artileri, transportasi dan amunisi, kemudian mundur ke Semarang. Milisi TKR Indonesia yang baru dibentuk turun ke lapangan udara dan menyita senjata. Huijer ditangkap oleh TKR pada tanggal 9 Oktober dan diserahkan ke konsulat Inggris. Peristiwa ini merupakan awal dari banyak konflik di wilayah Surabaya. Pada fase kedua Bersiap (15 September – 14 Oktober 1945), kelompok-kelompok Pemuda lokal yang terdesentralisasi mulai mengorganisasi dan memperoleh senjata.

Tentara Jepang pertama dianiaya dan sikap terhadap warga sipil Belanda dan Eurasia menjadi bermusuhan. Propaganda Indonesia juga menjadi agresif. Kekejaman yang dilakukan oleh pasukan revolusioner terhadap orang Indo-Eropa dimulai. Perkelahian antara Pemuda dan pemuda Indo pecah, yang mengakibatkan pemboikotan makanan bagi orang Indo (5 Oktober), yang kemudian mengakibatkan perkelahian yang lebih keras. Pada bulan Oktober, razia (serangan) dimulai dan laki-laki Indo ditangkap dan dibunuh. Pada tanggal 12 Oktober, pemerintah Revolusioner memerintahkan penangkapan semua laki-laki dan anak laki-laki Indo. Di Surabaya, 42 orang Indo dibunuh di ruang bawah tanah Simpang Club dan beberapa ratus orang disiksa di Penjara Kalisosok di Werfstraat. Setelah seorang penjaga penjara Ambon memberi tahu Inggris tentang rencana untuk meracuni para tahanan (9 November), mereka diselamatkan (10 November) oleh seorang komandan Indo dan unit Gurkha. Pada akhir September, pasukan Inggris dari India mulai tiba. Inggris mencoba tetap netral dan meminta kerja sama dengan pemimpin Republik. Jepang juga menyatakan netralitas dan hanya akan bereaksi jika diganggu.

Brigade Infanteri India ke-49 tiba di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 di bawah Brigadir Mallaby. Pada awalnya, Inggris diterima dengan baik oleh komandan TKR Mustopo dan Gubernur Jawa Timur Raden Soerjo, dan dikerahkan dalam unit-unit kecil di seluruh kota. TKR diinstruksikan untuk mendukung Inggris dalam mengamankan tahanan Jepang dan menyelamatkan tawanan sekutu. Pada pagi hari tanggal 27, sebuah pesawat Sekutu menyebarkan slot 88 selebaran yang menuntut agar orang Indonesia menyerahkan senjata mereka atau ditembak. Ultimatum dari Jenderal Hawthorne ini, menyebabkan pemberontakan di Surabaya oleh puluhan milisi pemuda yang menyebabkan pertempuran pada tanggal 10 November dan fatwa jihad (perang suci) terhadap orang-orang barat.

Pada bulan Oktober 1945, sebuah fatwa jihad yang mendukung perang di Surabaya digaungkan di Aceh oleh ulama populer Daud Beureu’eh. Beberapa kontingen milisi dari Sulawesi dan daerah Indonesia lainnya terlibat dalam perang Surabaya.Pasukan Belanda yang kecil akan mendarat di Kutaraja, dari Oktober hingga awal November, tetapi akan mundur ke Medan karena suasana semakin tidak bersahabat. Uleëbalang yang pro-Belanda berharap Belanda akan kembali, dan dibiarkan terekspos ketika mereka tidak kembali. Belanda akan membiarkan Aceh tidak tersentuh selama sisa Revolusi, situasi ini akan mengubah perang saudara di Aceh secara meyakinkan di kalangan ulama yang pro-Republik.

Tahap ketiga (pertengahan Oktober hingga akhir November 1945) dianggap sebagai yang paling keras. Di Surabaya dan Malang, pasukan Indonesia berhasil melucuti senjata militer Jepang. Pria dan anak laki-laki Eropa dan Indo-Eropa dikurung, diikuti oleh wanita dan anak perempuan. (Militer Inggris kemudian memutuskan untuk mengevakuasi 10.000 orang Indo-Eropa dan tahanan Eropa dari pedalaman Jawa Tengah yang bergejolak). Perjalanan bagi penduduk yang dianggap anti-revolusioner—orang Indonesia Kristen, Tionghoa Indonesia, orang Eropa, dan Indo-Eropa—menjadi mustahil. Angkatan bersenjata Inggris mencoba untuk menguasai, tetapi menghadapi perlawanan hebat, khususnya di bagian tengah Jawa. Surabaya menjadi tempat pertempuran sengit. (lihat Pertempuran Surabaya)